Abdullah Ahmad An-Na’im, lahir di Sudan pada tahun 1946. Sejak mudanya
An-Na’im sudah bergabung dengan partai Persaudaraan Republik. An-Na’im adalah
murid dari Mahmoed Mohamed Taha pendiri partai Persaudaraan Republik (The
Republican Brotherhood) pada akhir Perang Dunia II sebagai partai
alternatif di tengah-tengah perjuangan nasionalis Sudan.
Akibat dari pernyataan oposisinya mereka terhadap program
islamisasi Numeyri, maka selama kurang lebih satu setengah tahun, an-Na’im
ditahan bersama sekitar 30 orang pimpinan Persaudaraan Republik, termasuk
gurunya Taha. Pada akhir tahun 1984 mereka dibebaskan, namun Taha ditangkap
kembali bersama beberapa pimpinan lainnya dengan tuduhan menghasut dan
pelanggaran lainnya, tetapi hanya Taha yang kemudian dihukum mati pada tangal
18 Januari 1985 oleh rezim Sudan Ja’far Numeyry. Sejak itu kelompok ini sepakat
untuk tidak terlibat dalam aktivitas politik dan secara resmi membubarkan diri.[1]
Ada tiga konsep dari pemikiran an-Naim yaitu: Reformasi Syariah, Evolusi Syari’at dan Negara Sekuler menurut an-Na’im. Berikut ini ulasan pemikiran Abdullah Ahmad
an-Na’im yang menjadi kekhasan dari An-Na’im.
1. Reformasi Syariah
Istilah ini digunakan oleh an-Na’im untuk menyebut Syariat Islam.
Menurut Na’im, umat Islam sedunia boleh menerapkan hukum Islam, asal tidak
melanggar hak orang dan kelompok lain, baik di dalam maupun di luar komunitas
Islam. Tapi menurutnya jika syariat historis ini diterapkan kan menimbulkan
masalah serius menyangkut masalah-masalah konstitusionalisme, hukum pidana,
hubungan internasional dan hak-hak asasi manusia.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, ia menulis dalam bukunya yang
berjudul Toward
an Islamic Reformation yang menyerukan perubahan
hukum Islam terkait dengan konstitusionalisme, hukum kriminal, hubungan
internasional, dan hak-hak asasi manusia (HAM). Dia berkeyakinan bahwa hukum
Islam dalam bidang ini bertentangan secara diametrikal dengan prinsip hak asasi
manusia dan standar hukum international.
Dalam konteks masyarakat pluralistik, syariah harus mampu
mengakomodasi kepentingan-kepentingan kaum minoritas, menghormatinya sebagai
bagian dari hak-hak dasar yang harus diakuinya.[2]
2. Evolusi Syari’at
Sebuah pendekatan yang pada awalnya dibangun dan dikembangkan oleh
gurunya Mahmud Muhammad Taha dalam bukunya Al-Risalah al-Tsaniyah. Metodologi
ini kemudian disebut evolusi syari’at yaitu “tafsir modern dan evolusioner terhadap
al-Qur’an”. Dengan me-naskh ayat-ayat al-Qur’an yaitu mengahapus hukum suatu
ayat. Pemahaman an-Nai’m tentang naskh al-Qur’an berbeda dengan apa yang telah
berlaku pada hukum Islam yaitu mengganti dengan ayat-ayat yang dekat dengan
pemahaman manusia.
Naskh yang dimaksud an-Na’im adalah suatu teks masih menjadi bagian
al-Qur’an tetapi dianggap tidak berlaku secara hukum. Hal ini didasarkan atas
pembedaan antara surat al-Qur’an yang diwahyukan selama periode Makkah dan
Madinah. Surat Makkah lebih memperhatikan masalah spiritual dan cakrawala
keagamaan, sedang surat Madinah problem politik, sosial dan hukum menjadi lebih
ditekankan. An-Na’im menegaskan bahwa kaum Muslim bebas menemukan ayat-ayat
mana yang sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka. Dengan kata lain bahwa
syari’ah historis yang dimaksud an-Na’im hanya berlaku bagi masyarakat muslim
masa lampau, sedang bagi masyarakat sekarang adalah menerapkan ayat-ayat yang
menekankan konstitusionalisme, hak asasi manusia dan internasionalisme.
3. Negara Sekuler
Konsep pemikiran an-Na’im terhadap Negara
sekuler bahwa seorang muslim membutuhkan negara sekuler untuk menjadi
muslim yang lebih baik. Artinya, memerlukan negara yang membiarkan saya sendiri
dan bukan memaksakan agama terhadap saya. Sehingga saya bisa menjadi seorang
muslim sesuai pilihan saya. Jika negara memaksakan pandangan Islamnya terhadap
saya, maka saya tidak bebas memilih bagaimana saya menjadi muslim. Bukan karena
saya tidak punya pilihan.
Islam sebagai rahmatan lil alamin menurut
an-Na’im adalah nilai-nilai Islam hanya bisa dihormati oleh
penganutnya dan bukan oleh negara. Rahmatan lil alamin hanya bisa tercipta oleh
masyarakat yang hidup dalam nilai-nilai Islam dan bukan dipaksakan oleh negara.
Baginya dalam Al-Quran tidak ada konsep negara.[3]
[1] http://faizalzawahir.blogspot.co.id/2013/01/ringkasan-pemikiran-abdullah-ahmed-naim.html Di akses pada hari kamis, 01
Oktober 2015 pukul 11.07 WIB.
[2]Zuly
Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
hlm. Xiii.
[3]http://dokumen.tips/documents/pemikiran-abdullah-ahmed-an-naim-1.html Di akses pada hari kamis, 01 Oktober 2015 pukul 11.04 WIB.

Komentar
Posting Komentar