LAPORAN HASIL PENGAMATAN PENINGGALAN BUDAYA INDONESIA DI MUSEUM
RONGGOWARSITO
Disusun
Oleh :
Hanif
Fatkhur Aziz (133511027)
A. Pendahuluan
Budaya muncul sebagai hasil interaksi manusia dengan masyarakatnya.
Interaksi yang berkesinambungan ini kemudian menghasilkan berbagai hasil
beragam seperti tradisi, ornamen, dan seni yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat. Sehingga, hasil budaya ini memiliki pandangan tersendiri bagi
masyarakat tersebut, karena setiap hasil budaya memiliki arti penting bagi
kehidupan suatu masyarakat.
Arus kehidupan modern yang diiringi dengan globalisasi sedikit banyak
mengikis dan mengesampingkan budaya suatu masyarakat. Budaya-budaya dianggap
tak lagi rasionalistik, kemudian mereka lebih memilih sesuatu yang praktis dan
memiliki nilai duniawi yang tinggi. Pandangan masyarakat seperti ini telah
menjalar kepada generasi-generasi muda yang pada akhirnya pemuda lebih sering memanfaatkan
waktu senggang untuk mengunjungi tempat-tempat yang dapat memuaskan diri.
Museum yang merupakan tempat peninggalan berbagai hasil kebudayaan kini telah
mulai berangsur sepi. Sehingga, keadaan semacam ini sangat rawan bagi
kelestarian dan keadaan kebudayaan dan hasilnya di tanah Indonesia ini.
Merujuk kepada berbagai uraian diatas, maka kunjungan ke museum-museum bagi
kalangan pelajar (mahasiswa) sangat penting dalam upaya menghidupkan jiwa sadar
akan pelestarian budaya bagi kalangan pemuda. Dengan kunjungan ini, aspek yang
amat penting adalah melihat, mengenal, memahami, dan diharapkan akan timbul
sikap untuk menjaga, dan melestarikan budaya dan hasil kebudayaan di masa yang
akan datang.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis menulis laporan kunjungan ke
museum (Museum Ronggowarsito) yang telah dilaksanakan sebagai bentuk hasil gambaran
pemahaman terhadap beberapa hasil kebudayaan.
B. Hasil Pengamatan
Dalam proses pengamatan terhadap berbagai koleksi yang terdapat di Museum
Ronggowarsito yang penulis lakukan, penulis melaporkan lima buah peninggalan
yang telah diuraikan, sebagai berikut:
1. Gunungan Blumbangan

Gunungan blumbangan
merupakan salah satu koleksi kebudayaan masyarakat Indonesia yang di konsep
oleh Raden Patah. Disebut gunungan karena bentuknya meruncing keatas yang
seperti bentuk gunung. Gunungan sangat kental dengan aspek kebudayaan karena
merupakan hasil karya manusia. Didalamnya digambarkan adanya dunia dan seisinya
termasuk manusia, hewan, tumbuhan dan yang lainnya. Gunungan memilki dua sisi
yang berbeda, ada yang mengatakan bahwa yang satu menandakan laki-laki dan yang
satu adalah perempuan. Gambar gunungan dan dua sisi yang terdapat di dalamnya
menandakan bahwa dalam kehidupan masyarakat terdapat dua sisi yang berbeda, dan
kehidupan tidak akan lepas dari rintangan dan berbagai kesulitan. Gunungan
blumbangan biasanya digunakan sebagai pembuka, penutup, atau pergantian adegan dalam
pentas pawayangan.
Dalam proses dakwah Islam
menggunakan pawayangan, gunungan mempunyai kedudukan yang sangat penting
berkaitan dengan fungsinya sebagai pembuka dan penutup sandiwara/ atau cerita. Karena
gunungan dengan bentuk menyerupai segilima menunjukkan bahwa ada lima rukun
Islam yang menjadi dasar beragama Islam yang
harus dijadikan pedoman umat Islam semenjak ia masuk agama Islam sampai kepada
akhirnya kehidupan. Selain itu, bentuknya yang meruncing menandakan bahwa
setiap yang hidup (manusia, dan makhluk lainnya) adalah menuju ke atas kepada
Sang Pencipta dan Penguasa Alam Semesta. Sehingga setiap yang hidup, khususnya
manusia harus tunduk, dan patuh terhadap segala perintah-Nya, dan menjauhi
segala larangan-Nya.
2. Wayang

Wayang adalah salah
satu bentuk hasil budaya berupa tiruan orang untuk diceritakan dan dilakonkan
oleh dalang dalam suatu pertunjukan. Wayang dapat diartikan sebagai sebuah
bayang-bayang, bayang-bayang kehidupan manusia atau orang yang diceritakan
dalam bentuk karya seni. Pertunjukkan wayang biasanya diringi oleh seperangkat
gamelan untuk memperindah cerita.
Wayang adalah
pertunjukan yang mengandung aspek hiburan, spiritualitas, dan mistik. Aspek
yang pertama, wayang sebagai hiburan bagi manusia karena merupakan hasil karya
seni yang dapat disaksikan. Wayang dalam aspek spiritualitas, wayang mengandung
hubungan manusia dengan Sang Pencipta, dimana tokoh-tokoh wayang (manusia)
tunduk dan patuh terhadap apa yang dilakukan oleh dalang yang diibaratkan
sebagai Sang Pencipta. Kemudian aspek yang terakhir dalam pawayangan adalah
aspek mistik, dikarenakan wayang telah ada dalam masyarakat Indonesia sejak
zaman sebelum Islam, dimana sebelum datangnya Islam agama yang dianut masyarakat
Indonesia adalah agama Hindu-Budha. Agama Hindu-Budha kental dengan aura
mistik, seperti adanya Dewa-dewa yang mereka anggap sebagai Tuhan bagi mereka,
yang kemudian menyembahnya dengan berbagai ritual khusus.
Pada masa Islam,
wayang muncul dengan corak baru yang memadukan nilai-nilai budaya yang telah
ada sebelumnya dengan nilai-nilai Islam. Perpaduan ini melalui dua cara: yakni pertama,
memunculkan wayang baru dengan cerita dan nilai islam. Sebagai contohnya adanya
tokoh punokawan berjumlah empat yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Tokoh yang
pertama adalah semar, yang berasal dari kata Ismar, yang berarti paku. Yang
dimaksud dengan arti paku disini ialah Islam merupakan kunci pengokoh
keselamatan dunia, dan akhirat. Yang kedua, gareng yang berasal dari kata Nalaa
Qaarin yang mengandung arti banyak teman atau kawan. Yang dimaksud disini
adalah pertunjukan wayang ditujukan sebagai sarana syiar Islam untuk dapat
menyebarkan agama. Tokoh yang ketiga, Petruk yang berasal dari kata fatruk yang
berarti meninggalkan, artinya meninggalkan sesuatu yang selain Allah Swt
(mengesakan atau mentauhidkan Allah). Tokoh yang terakhir adalah Bagong yang
berasal dari kata Bagaa yang berarti berontak, disini wayang ditujukan untuk
melawan atau memberontak dari suatu hal yang tidak terpuji (keji, munkar, dan
dosa), kemudian mengarahkan kepada perbuatan yang terpuji. Dan kedua, penyisipan
nilai-nilai Islam kedalam pawayangan sehingga pawayangan muncul dengan corak
Islam. sebagai contoh adalah adanya penyisipan makna Islam kedalam kisah
pawayangan, seperti pandhawa yang diinterelasikan dengan rukun Islam. Misal
Yudhistira tokoh pertama dalam pandhawa mempunyai jimat kalimasada yang berisi
dua kalimat syahadat yang merupakan kunci masuk Islam (rukun Islam yang
pertama). Kemudian Bima yang merupakan tokoh bertubuh kekar, dan besar yang
mengisaratkan kekuatan, hal ini senada dengan rukun Islam yang kedua yaitu
shalat, karena shalat adalah tiang penyangga (penegak) agama.
Akhirnya, wayang
adalah pertunjukan seni sebagai media dakwah, menebar nilai kehidupan serta
ajakan untuk senantiasa memperbaiki kehidupan. Prof. Dr. H. Muhibbin, M. Ag
(Rektor UIN Walisongo Semarang) dalam
sambutannya pada acara pergelaran wayang kulit pada 9 Mei 2015 di kampus I UIN
Walisongo Semarang. Beliau mengatakan bahwa wayang adalah tontonan yang
mengandung tuntunan bagi manusia untuk mengambil ibrah, dan i’tibar dalam
perjalanan kehidupan agar muncul koreksi untuk mengadakan perbaikan diri.
3. Angklung

Sebuah alat musik khas
Indonesia yang telah yang di akui dunia sebagai warisan budaya Indonesia.
Angklung tercipta dari bambu, dimana bambu bagi masyarakat Indonesia tak sulit
untuk ditemukan. Angklung merupakan alat musik yang penuh kesederhanaan, yang
menujukkan bahwa segala sesuatu hal diciptakan (bambu) mempunyai sisi
kemanfaatan. Angklung dimainkan dengan cara digoyang-goyangkan, dan setiap
sebuah alat musik angklung hanya memiliki sebuah nada atau tone. Sehingga, untuk
menghasilkan nada yang bervariasi angklung dibuat dengan berbagai ukuran. Alat
musik angklung adalah karya masyarakat Jawa barat, yang dahulu bermata
pencaharian sebagai petani yang kebanyakan menanam padi. Alat musik angklung
mereka gunakan untuk memohon kepada Dewi Sri Pohaci atau terkenal dengan Dewi
Padi agar diberikan kesuburan tanaman dan hasil yang melimpah ruah. Karena
mereka percaya dengan memainkan alat musik angklung ini Dewi Padi akan datang
ke bumi dan memberikan penjagaan terhadap padi yang mereka tanam dari mulai
ditanam sampai masa panen, sehingga akan didapat hasil yang melimpah.
Dalam perkembangannya
angklung kini mulai tersebar ke berbagai pelosok negeri ini. Yang perlu
diketahui adalah makna kesederhanaan (bentuknya yang simpel dan berasal dari
bambu), dan kebersamaan (dalam memainkannya untuk menghasilkannya perlu
beberapa orang agar tercipta variasi suara yang merdu). Kesederhanaan yang
diberikan angklung ini juga diajarkan dalam Islam, bahwa setiap manusia yang
hidup tidak diperkenankan untuk berlebih-lebihan dalam suatu hal, melainkan
diperintahkan untuk memanfaatkan dan menerima segala yang ia terima dengan rasa
syukur. Karena dengan perantara syukur nikmat ataupun anugerah yang diberikan
Allah akan ditambah. Kebersamaan dalam memainkan angklung juga senada dengan
konsep Islam bahwa setiap mukmin dengan mukmin lain adalah saudara, maka saling
tolong menolonglah dalam hal kebaikan. Selain kedua hal tersebut, tabung angklung yang dilubangi untuk menggantungkannya pada palangan juga
memiliki kaitan dengan Islam. Jika lubang ini tidak tepat, maka
suarapun akan tenggelam. Maknanya adalah bahwa manusia harus percaya untuk
berkorban dan bergantung pada Tuhan
Yang Maha Esa.
Artinya manusia hidup adalah berkat Allah, maka ia harus tunduk, dan patuh
terhadap apa yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang, sehingga Allah akan
menunjukkan jalan kehidupan yang baik bagi setiap manusia yang tunduk dan patuh
kepada-Nya.
4. Pakaian Adat Jawa Tengah

Pakaian merupakan tanda wibawa seseorang. Sebagaimana dalam pepatah jawa dikatakan
“ajining diri saka lathi, lan ajining raga saka busana”. Dengan busana
atau pakaian itulah manusia dapat dilihat kepribadiannya. Selain itu
diterangkan pula bahwasanya “libasukum yukrimukum qablal julus, wa ‘ilmukum
yukrimukum ba’dal julus” jelasnya setiap orang sebelum diketahui sifat
dalamnya, maka orang tersebut itu dinilai berdasarkan apa yang terlihat
(pakaiannya).
Pakaian adat merupakan suatu ciri khas dari suatu daerah, yang menunjukkan
sifat ataupun karakter masyarakat setempat. Sehingga pakaian adat bisanya
digunakan dalam kondisi ataupun keadaan tertentu seperti halnya pernikahan,
pakaian keraton dan yang lainnya. Sebagai contoh diambil pakaian adat Jawa
Tengah. Pakaian adat Jawa tengah terdiri atas dua hal, yaitu pakaian laki-laki,
dan pakaian perempuan, yang keduanya memiliki arti sesuai karakteristik
masyarakat Jawa.
Pakaian adat laki-laki, menggunakan
blankon sebagai penutup kepala memiliki makna bahwa setiap laki-laki harus
bersifat teguh. Kemudian pakaian
beskap yang memiliki kancing di sebelah kiri dan kanan mengisyaratkan bahwa
seorang laki-laki hendaknya memperhitungkan segala perbuatan yang dilakukan
dengan cermat dan hati-hati. Penggunaan kain jarik yang dilipat
secara vertikal bertujuan agar jarik tidak terlepas dari wirunya. Maknanya
adalah agar para lekaki Jawa
jangan sampai melakukukan sesuatu dengan keliru. Selain itu, penggunaan keris di bagian
belakang pinggang mengandung makna
keperkasaan laki-laki, dan juga bermakna bahwa manusia harus mampu
menolak semua godaan setan.
Pakaian yang
dikenakan oleh perempuan Jawa Tengah yakni berupa model kebaya. Pemakaian
kebaya ini dilengkapi pula dengan kemben sebagai penutup dada dan kain jarik
batik sebagai bawahan. Kebaya melambangkan kepribadian
perempuan Jawa yang patuh, lemah lembut, dan halus. Kain jarik memiliki arti
bahwa wanita merupakan sosok yang bisa menjaga kesucian dirinya serta tidak
mudah menyerahkan diri kepada siapapun. Sementara keberadaan stagen berfungsi
sebagai perlambang perempuan yang mampu menyesuaikan diri.
Pakaian adat
masyarakat Jawa Tengah menunjukkan bahwa masyarakat Jawa menekankan nilai
kehalusan, kesederhanaan, kehormatan, dan kewibawaan. Nilai yang ditekankan
tersebut adalah untuk menjaga dan memperbaiki hati masyarakat Jawa Tengah,
senada dengan konsep Islam bahwa dalam suatu hadits dijelaskan bahwa: “Innallaha
la yanduru ila ajsadikum, wala yanduru
ila suwarikum, wala ila ‘amalikum, walakin yanduru ila qulubikum” yang
maksudnya Allah Swt tidak melihat seseorang itu dari jasadnya, penampakannya,
amal-amalnya, tetapi Allah melihat setiap orang adalah dari hatinya.
5. Menara Kudus

Menara kudus adalah salah
satu peninggalan budaya Islam yang memiliki nilai-nilai budaya Hindu-Budha.
Keselarasan yang terjadi antara Islam dan budaya Jawa ini karena metode dakwah
yang digunakan Sunan Kudus pada saat itu adalah menghormati keberagaman. Masyarakat
sebelum masuknya Islam telah beragama Hindu dan Budha dengan mapan sehingga untuk mengislamkan
masyarakat Jawa terutaman masyarakat Kudus Sunan Kudus tidak meninggalkan
corak-corak budaya yang telah ada. Namun, menyisipkan corak Islam kedalam peninggalan
agama yang telah ada sebelumnya.
Menara kudus adalah salah
satu bentuk perpaduan peninggalan agama Islam dan hindu-budha. Menara ini
sekilas seperti candi-candi yang merupakan hasil budaya hindu-budha. Hal ini
mengindikasikan bahwa menara Kudus ini adalah sebuah peninggalan yang
menyatakan peralihan dari nilai Hindu-Budha ke Islam. Di bagian atas menara
terdapat kentongan ataupun bedug, jika dalam candi Hindu-Budha adalah sebagai
sarana menyampaikan Informasi, sedangkan pada menara kudus ini adalah sebagai
sarana mengundang masyarakat Kudus untuk berjamaah (adzan) atau penunjuk waktu
shalat. Kemudian pada bagaian atap dibuat dari kayu jati dengan empat tiang
penyangga ini sama dengan ciri khas rumah orang-orang Jawa-Hindu yang setelah
diadopsi Islam memiliki makna Islam, iman, ihsan, dan ridha.
Menara Kudus mengingatkan kita
kembali akan pentingnya menjaga toleransi antarumat beragama yang telah ada
sejak lama. Perbedaan agama bukanlah alasan untuk saling menonjolkan ajaran,
menyombongkan panutan. Namun, dengan agama yang berbeda kita malah justru harus
bisa dipersatukan dalam suasana indah dan mesra. Dengan hadirnya menara kudus dan toleransi beragama ini,
proses Islamasisi masyarakat yang dilakukan Sunan Kudus berjalan dengan lancar,
dan banyak yang masuk agama Islam.
C.
Penutup
Koleksi yang terdapat di Museum Ronggowarsito merupakan
sebagian dari limpahan hasil kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa
Tengah. Limpahan hasil kebudayaan yang telah ada tersebut perlu dijaga, dan
dilestarikan agar eksistensi dan perkembangannya tidak tergerus oleh
perkembangan zaman dan peradaban manusia. Hasil budaya adalah mahakarya yang
memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi, jikalau hasil budaya tersebut terabaikan
maka lenyaplah nilai-nilai luhur yang termaktub dalam bungkusan kebudayaan
tersebut. Untuk itu, sebagai generasi muda, dan generasi penerus bangsa, kita
sudah sepantasnya mempelajari, menjaga, memahami, dan melestarikannya karena
itu semua adalah warisan nenek moyang kita.

Komentar
Posting Komentar